Home » , » MERAPI DI UJUNG GALAR

MERAPI DI UJUNG GALAR


Kumandang adzan subuh mengalun dari sebuah mushola kecil di pinggir kali. Beberapa saat kemudian kidung puji-pujian mengumandang, menyibak dinginnya udara pagi, menyelusup rimbun rumpun bambu.  Aku sudah bisa memastikan, pastilah Mbah Naryo yang bersenandung. Siapa lagi kalau bukan beliau? Orang lain biasanya  lebih memilih bergelung di bawah selimut, mencoba mengusir dinginnya udara di awal musim kemarau. Aku sendiri lebih suka mendekap Azizah, dan beralasan bahwa bayiku masih menetek. Nanti sajalah, terlambat solat subuh pasti dimaklumi. Di samping itu, buat apa terburu-buru bangun, toh ini tidak di pengungsian, jadi tidak harus berebut kamar mandi.

Aku pantas bersyukur sudah boleh meninggalkan tenda pengungsian di kecamatan. Sebenarnya aku mengungsi bukan karena takut wedhus Gembel yang sewaktu-waktu akan meluncur dari puncak merapi. Sudah sejak bertahun-tahun aku akrab dengan polah tingkah Merapi, dan bersahabat dengan Wedhus gembel. Aku dan  warga yang lain menerima gejolak Merapi sebagai suatu kewajaran. Dulu tidak pernah ada yang meributkan keselamatan kami. Tetapi akhir-akhir ini kami dibuat cemas oleh pemberitaan yang heboh, baik di koran maupun di TV.
Aku sendiri tidak tahu mengapa Merapi menjadi pusat perhatian. Pemberitaan yang superheboh dan pemerintah yang takut dinilai lamban menyikapi Merapi, menyebabkan  kami diuber-uber para pamong desa untuk mengungsi. Padahal Merapi masih tenang-tenang saja. Berat bagi kami berpisah dengan ternak-ternak kami. Tapi, aku sendiri risih setiap saat diuber pakai kentongan dan sirine untuk segera naik ke truk-truk pengangkut.
”Kami hanya ingin sampeyan-sampeyan ini selamat,” kata Pak Pamong.
”Tapi Merapi kan belum meletus? Mengapa kami sudah harus mengungsi?”
”Kalau menunggu meletus, bagaimana kami bisa mengamankan sampeyan…?”
”Sudahlah, wong di sana juga diopeni, tinggal makan enak, tidur nyenyak, kok masih ngeyel…!” tambah Pak Sekdes nyinyir.
Aku hanya terdiam. Tak ada gunanya lagi menjawab. Toh mereka juga hanya melaksanakan tugasnya sebagai pamong. Aku dengar dana untuk pengungsi memang sangat besar untuk daerah kami. Pantas saja Pak Pamong menjanjikan makan enak di pengungsian. Dana yang besar sudah turun, tetapi Merapi masih tenang-tenang saja. Apa jadinya kalau ternyata tidak ada warga yang mau mengungsi? Tentunya aparat akan mendapat malu. Maka, mau tidak mau, harus ada warga yang mengungsi. Dengan cara apa pun!
”Ayo jalan, tunggu apa lagi? Tidak usah banyak-banyak barang yang dibawa!” Bu RT menarik tanganku kasar.
”Maaf, tapi anakku…!” Aku bermaksud ingin masuk ke rumah lagi untuk mengambil popok lebih banyak dulu karena balitaku masih mengompol. Apa jdinya kalau tidur di tenda dan ompol anakku ke mana-mana.
”Ya justru sampeyan punya dua balita itu maka kami dahulukan untuk mengungsi!” sahut Pak Pamong tak mengerti.
”.Maksudku…”
”Sudahlah! Ini harus segera. Jam empat nanti ada shootingan di tempat pengungsian. Sampeyan-sampeyan ini mau diliput, masuk TV,” jelas salah satu staf kecamatan.
”Nanti kalau ditanya-tanya oleh wartawan atau bapak-bapak pejabat, jawab saja bahwa sampeyan sangat berterima kasih karena pemerintah sangat peduli pada keselamatan sampeyan,” kata seorang bapak dari kantor kecamatan.
”Dengar…Mbah?” Tanya Bu RT mengarah pada Mbah Samini.
Inggih, Bu.”
Aku terbawa arus saja bersama kedua balitaku, Rahman dan Azizah, menaiki truk bersama pengungsi lain. Berdiri di bak truk, bergoyang-goyang di atas jalan berbatu, aku hanya sempat melambaikan tangan pada suamiku yang pulang dari sawah.
”Jaga anak-anak…!” teriak suamiku sambil membetulkan letak rumput di punggungnya.
”Pasti…! Jangan khawatir…!” balasku tak kalah kerasnya, sekadar menghalau rasa tak nyaman yang menyeruak di rongga dada.
Truk perlahan, menjauh dari lereng Merapi, meninggalkan kampung halamanku.
Kami terangguk-angguk di atasnya. Azizah kudekap dengan erat untuk mengusir angin yang semribit menerpa kepala kami, sementara Rahman terduduk dengan manis di atas buntalan barang bawaan kami. Setengah jam kemudian truk yang membawa kami memasuki lapangan Kecamatan Banyubiru
Luar biasa…! Kami disambut layaknya tamu penting. Puluhan pejabat berlari ke  arah kami, diikuti beberapa orang membawa kamera besar yang terus mengarah pada kami. Beberapa orang berusaha mengacungkan mike dan bertanya kearah kami, tetapi salah satu petugas segera melarangnya.
”Nanti...! Nanti dulu, wawancaranya nanti saja. Biarkan  mereka beristirahat di tenda dulu!”
”Ayo semua turun..! Kami akan tunjukkan tenda untuk sampeyan!”
Aku masih termangu di atas truk. Azizah masih kudekap. Kepalanya kututupi ujung jarit untuk  menyembunyikan mulutnya yang masih mencecap tetekku. Dari atas truk kulihat deretan tenda-tenda tertata rapi di sebelah kiri lapangan. Sementara di sebelah kanan berjajar tenda dengan ukuran lebih kecil dengan warna yang berbeda. Beberapa tenda bergambar lambang-lambang partai seperti yang kulihat dalam kartu pemilih saat pemilu lalu.
Dari tenda-tenda itulah beberapa lelaki berlari keluar, dan dengan sigap membantu kami turun dari truk. Pada kaos yang dikenakannya tertulis; RELAWAN PEDULI MERAPI, lalu di bagian dadanya bergambar lambang partai tertentu. Ada juga yang berpakaian mirip tentara, pada bagian punggungnya tertulis LASKAR BELA RAKYAT, yang lainya lagi hanya mengenakan kaos putih biasa bertuliskan PEMUDA TANGGAP BENCANA dan dilengkapi lencana bergambar partai pula. Mereka berebut untuk memberikan bantuan pada kami, sepertinya mereka bersaing untuk dinilai paling peduli pada nasib kami.
Aku dituntunnya dengan hati-hati. Dengan senyum ramah, Azizah  dililingnya. Seorang pemuda tampan menggamit tangan Rahman dan menuntunnya, sedangkan tangan lainnya menjinjing buntalan berisi pakaian kami. Aku melangkah dengan ragu di antara lalu lalang wartawan yang memanggul kamera-kamera besar. Apa istimewanya kami sehingga mereka begitu perhatian pada kami.
”Tolong Mas, tolong beri jalan dulu. Ibu ini akan segera menidurkan bayinya,” ungkap seorang pemuda yang menuntunku.
”Kami juga butuh berita, Mas!” jawab seorang wartawan agak gusar.
”Saya tahu, tapi saya juga berkewajiban menjalankan tugas saya dengan baik, sebagai relawan.”
Ooh…, dia relawan! Tukang menolong rakyat kecil rupanya. Tapi mengapa harus bermarkas di sini, menunggu pengungsi datang? Mengapa mereka tidak naik saja ke lereng Merapi, tinggal bersama kami, sehingga bila sewaktu-waktu Merapi benar-benar meletus, mereka bisa menolong kami? Mengapa mereka hanya menunggu kami turun ke sini, dan setelah sampai di sini baru mereka berebut untuk menarik simpati kami? Seandainya saja mereka mau menyertai kami, di desa, tentu kami lebih merasa tenang. Dana yang dikeluarkan pemerintah tidak akan terlalu besar, sebab kami pasti akan dengan suka rela menjamu mereka. Tapi…entahlah! Yang jelas, mereka justru membuat posko di sini.
Aku menurut saja mengikuti langkah pemuda yang menggandengku. Berjalan lambat, berdesak-desakan hingga sampai di tenda.
”Nah, Ibu, ini tenda Ibu. Silakan Ibu beristirahat dulu,” kata pemuda itu.
Inggih. Maturnuwun, Mas!” jawabku singkat.
Baru saja pemuda itu berlalu, datang pada kami seorang gadis cantik. Dengan senyuman ramah ia memberi penjelasan tentang letak kamar mandi, jam makan, peminjaman peralatan tidur seperti bantal dan selimut, dan lain-lain. Dan semua penjelasan itu hanya mampu kujawab, ”Inggih, maturnuwun.”
Sore hari, sehabis makan malam yang tidak menjadi kebiasaan kami sebelumnya, kami bisa menonton TV bersama. Di sebelah tenggara lapangan, di samping kantor kecamatan, di sana ada TV sangat besar yang bisa ditonton dari jarak cukup jauh. Rahman merengek sambil terus menarik-narik bajuku untuk menonton lebih dekat. Maklum, di rumah tidak ada TV, jadi ia ingin menonton sepuasnya. Aku ikuti saja langkahnya sambil terus mendekap Azizah dalam gendonganku.
Aku berharap bisa menonton hiburan, kemeriahan kota, atau film India yang penuh dengan tarian. Tetapi saying sekali, ternyata yang sedang ditayangkan adalah tentang Merapi juga. Bahkan…, astaga….! Aku bisa menonton desaku yang sunyi setelah ditinggal mengungsi, menonton pengungsi di lapangan ini, dan…menonton diriku sendiri. Beberapa di antara kami akan tertawa-tawa saat melihat wajah kami nongol di TV, begitu juga anakku.
”Mak…, Mak…lihat, aku masuk TV!” teriak Rahman menunjuk TV.
”Iya, iya, Emak sudah lihat,” jawabku.
Kulihat Rahman sedang dibantu oleh seorang relawan saat turun dari truk, dan aku digandeng seorang pemuda saat dikerumuni oleh para wartawan. Wah cepat sekali beritanya masuk TV, padahal baru terjadi beberapa jam yang lalu.
”Eh, itu kan Kang Wasiyo yang nyunggi karung itu, Mak? Dia tidak ikut ngungsi kok ikutan masuk TV, Mak?”
”Iya, ya? Ssstt…jangan berisik, coba dengar dulu beritanya!” aku menenangkan Rahman. Walaupun sebenarnya aku heran, mengapa Wasiyo bisa masuk TV. Sepertinya karung yang dibawanya tidak berisi bekal mengungsi. Biasanya Wasiyo akan memikul karung sepulang dari belanja di pasar.  Bukankah setiap hari memang ia kulakan di pasar Talun? Karena memang dialah satu-satunya pemilik warung di desa kami. Ya, saya yakin. Itu  Kang Wasiyo! Dia baru saja kulakan di pasar. Tapi mengapa di TV diberitakan kepanikan warga saat akan mengungsi? Kang Wasiyo tidak mungkin mengungsi. Atau, jangan-jangan wartawan ingin membuat berita yang heboh, tapi sulit mendapatkan gambar, lalu asal shooting saja? Wah….?! Tiba-tiba aku merasa muak melihat berita di TV.
”Rahman, ayo kita pulang, adikmu harus segera bobok. Kamu juga, nanti ndak masuk angina.”
”Pulang ke rumah, Mak?”
”Oh, tidak. Ya pulang ke tenda.” Jawabku sambil terus berjalan meninggalkan halaman kantor kecamatan.
”Pulang ke rumahnya kapan, Mak?”
”Besok kalau keadaan sudah aman, Nak.”
”Memangnya sekarang belum aman? Merapi kenapa, Mak?”
”Merapi mau njebluk!”
”Besok kalau sudah njebluk, kita pulang ya, Mak?”
”Husss…!”
”Mak…”
Aku menarik lengan anakku saat ia mencoba bertanya tentang bilik-bilik bambu yang ada di sebelah posko PMI. Ia tidak boleh melihat isi bilik itu, apa lagi kalau sedang dipakai. Tempat itulah yang disebut BILIK MESRA. Disediakan khusus untuk suami istri yang ingin ’menunaikan kewajibannya’. Aneh-aneh saja! Aparat sudah mengatur bahwa yang mengungsi adalah perempuan dan anak-anak, sementara para suami dan pemuda menjaga desa. Kok di sini disediakan bilik mesra? Siapa yang mau pakai? Kalau toh ada pengungsi yang mau pakai, bagaimana panitia mengetahui pemakainya benar-benar suami istri atau bukan?  Bagaimana kalau ada orang yang mengaku-aku sebagai pasangan suami istri, tetapi ternyata bukan? Sebenarnya bilik mesra disediakan untuk siapa? Pengungsi atau….?
Menganggur, tanpa pekerjaan, hanya makan tidur, membuat kami semakin jenuh tinggal di pengungsian. Aku merindukan desaku, merindukan sawahku, merindukan kambing-kambingku.. Delapan hari sudah aku mengungsi, tetapi belum diperbolehkan pulang. ”Jangan pulang dulu, sebentar lagi Merapi pasti meletus,” selalu kata itu yang aku dengar untuk mencegah kami pulang. Untunglah, dua hari kemudian kami dipulangkan.
Kini aku sudah di rumah, mendekap Azizah, berdampingan dengan Rahman masih bermalasan untuk bangun pagi. Kang Sarmun, suamiku, sudah menyusul Mbah Naryo di mushola. Aku benar-benar harus terbangun saat Kang Sarmun sudah pulang dari mushola. Menjerang air, membuat teh panas, memanasi sayur, menjadi kegiatan rutin yang  harus kukerjakan dengan cepat sebelum anak-anakku terbangun. Dan pagi ini, aku melakukannya dengan senang hati karena aku sudah pulang dari mengungsi, dan bisa berkumpul lagi dengan suamiku.
Dua cangkir teh baru saja aku seduh dengan air panas saat tiba-tiba tanah yang kupijak bergetar. Kulihat daun jendela bergoyang-goyang. Jam dinding tua terjatuh dari cantelan, dan amben di dapur pun terguncang. Untuk beberapa saat aku terpaku, menduga-duga apa yang terjadi. Namun dari luar, Kang Sarmun yang baru saja pulang dari mushola berteriak, ”Lindduu…lindu…lindu…Sumarni, anakmu bawa keluar…!”
”Azizaahh…Rahman…, Kang, tolong anak kita Kang…!” tangisku membaur dengan jerit para tetangga. Segera kubopong Azizah, dan Rahman kuseret masih dalam kantuknya. Kami memburu keluar rumah. Tetapi…astaga, hujan pasir menyambut kami di luar. Sementara, di sebelah timur awan panas bergulung-gulung di puncak gunung. Merapi seolah murka.
”Wedhus gembel…wedhus gembel…awas…!”
”Lindu…lindu…, gempa bumi..!”
”Bapak…!”
”Maakk…!”
”Anakku…!”
Teriakan, tangis, dan jeritan membaur bersama semburan awan panas yang membubung. Merapi benar-benar meletus!Ya Tuhan, kiamatkah ini? Hatiku memekik. Hiruk-pikuk, jerit tangis anak-anak, pukulan kentongan, sirine yang meraung-raung membuatku semakin panik. Bingung, di luar dihujani abu, di dalam rumah takut runtuh. Kulindungi kepala anak-anakku dengan tampah yang kebetulan berada di tritikan. Orang-orang berlarian menuju kantor kelurahan, berharap ada pertolongan di sana.
Adalah Mbah Naryo, duda tua yang tidak larut dalam kepanikan. Ia hanya berdiri dengan tenang di emperan rumahnya. Memandangi Merapi dengan penuh sasmita. Lalu senyumnya menyungging di antara keriput wajahnya.
”Mbah, Simbah tidak ikut ke kelurahan? Mari saya tuntun, Mbah. Atau saya gendong?” ajak Kang Sarmun.
”Sudahlah…saya cukup di sini saja. Bawa anak isterimu ke sana, siapa tahu truk pengangkut datang sebentar lagi,” jawab Mbah Naryo tenang.
”Tapi, Mbah…kalau Simbah tidak mengungsi, saya juga tidak akan ke sana. Saya akan menemani Simbah.”
”Bagaimana dengan anak isterimu?”
”Aku menurut kata Kang Sarmun saja. Di kelurahan belum ada truk. Nanti kalau harus mengungsi pasti ada pengumuman.” Jawabku menyela.
”Kita mengalami hal seperti ini bukan baru sekali ini saja, Mbah. Merapi akan baik pada kita.” Jawab suamiku.
”Tapi ini dengan gempa, Kang” sahutku..
”Ya, karena material yang dikirim untuk kita lebih banyak, makanya guncangannya lebih terasa.” Jawab Kang Sarmun tenang.
”Baguslah kalau begitu. Simbah jadi punya teman untuk mengusir wedhus gembel itu agar tidak sampai di sini.”
”Mengusir... bagaimana?”
”Sudahlah, semakin cepat kita lakukan akan semakin baik. Bantu Simbah mengambil galar-galar ini, lalu bawa ke luar!”
            Kang Sarmun mengikuti keinginan duda renta itu tanpa banyak bicara, meski di dalam benaknya penuh tanya. Dalam beberapa saat saja amben yang berada di dapur itu sudah melompong tanpa galar. Kang Sarmun memikul galar-galar itu keluar, diikuti Mbah Naryo menenteng botol minyak tanah. Kedua lelaki itu beriringan menuju samping kanan rumah. Dari sini tampak gugusan lava menggumpal, membubung, menyembunyikan sosok Merapi yang biasanya tampak agung. Kang Sarmun dan Mbah Naryo duduk berdampingan menghadap ke arah Merapi yang sedang murka. Di depan mereka teronggok tumpukan galar.
”Nyalakan apinya, Sarmun!”suara Mbah Naryo memberi perintah, sambil menyodorkan korek api kepada Kang Sarmun. Lelaki tua itu mencurahkan sedikit minyak tanah pada tumpukan galar agar api mudah menyala. Dan, dalam hitungan detik, api mulai berkobar-kobar. Mbah Naryo mengamati lidah api yang seolah meronta-ronta. Sesaat kemudian dia pun tersenyum.
”Lihat, lidah apinya mengarah ke selatan. Ke sanalah wedhus gembel akan menuju. Kita akan aman di sini. Kalau harus pergi, wedus gembel itu yang akan pergi, bukan kita. Kita tak perlu mengungsi.”
”Mengapa Simbah sangat yakin?”
”Karena kita telah berhasil mengusirnya. Ya,ya, kita telah mengusirnya!”
            Kang Sarmun tak menyahut, begitu juga aku, meski di hati bergelayut berbagai perasaan. Aku tidak mengerti mengapa lelaki tua itu begitu yakin bahwa ia telah berhasil menghalau bencana yang ditakutkan banyak orang.Tetapi melihat ketenangan Mbah Naryo, kecemasanku pun berkurang. Saya percaya, Mbah Naryo, duda renta nan lugu, tidak pernah neko-neko, dan selalu bersahaja, pasti lebih tanggap ing sasmito saat menyikapi wedhus gembel. Meskipun hanya berbekal seujung galar.
            Waktu terus merambat siang. Kalau saja matahari tidak terhalang wedhus gembel, pasti sinarnya sudah mulai menghangat. Namun desa seolah mati. Tak ada aktivitas. Semua masih dicekam berbagai perasaan yang mengharu biru. Yang mengherankan, tidak ada perintah untuk mengungsi. Tidak ada truk pengangkut yang berjajar di depan kantor kelurahan. Hanya ada beberapa relawan bersepeda motor yang mencoba menenangkan warga untuk tidak panik. Aneh, di mana para relawan, para penghuni posko dari berbagai partai yang kemarin berebut menarik simpati kami? Di manakah mereka?
            Tiga hari setelah peristiwa itu, Bapak Pamong kembali mengumpulkan kami. Bukan untuk mengungsi lagi, meskipun Merapi benar telah meletus, tetapi untuk mnggalang bantuan bagi korban gempa di Bantul. Kami menyambut hangat ajakan Pak Pamong. Dengan suka rela, setulus-tulusnya kami memberikan apa yang kami punya, sayuran, beras, kelapa, ketela, bahkan beberapa ekor ayam kampung dikumpulkan di kantor kelurahan. Tahulah kami bahwa Merapi terbatuk karena terguncang gempa yang berpusat di sana. Dan, Mbah Naryo benar, wedhus gembel tidak menjangkau desaku. Tetapi angina yang bertiup telah menerbangkan sebagian abu ke desaku.

Kamus kecil
Wedhus Gembel    : sebutan yang diberikan warga sekitar Merapi saat ada awan panas.
sampeyan              : Kamu, Anda
diopeni                  : dirawat
inggih                    : iya
semribit                 : hembusan angina yang cukup terasa
dililing                   : digoda (menggoda anak kecil)
lindu                      : gempa bumi
tampah                  : nyiru
tritikan                   : teras, emperan
amben                   : balai-balai
galar                      : galur-galur yang terbuat dari bambu untuk membuat balai-balai
tanggap ing sasmito: peka terhadap keadaan melalui indera keenam
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Binawa Litera - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger