GADIS BLOK C.22
(Dimensi 35/Januari 2011)
Tak
ada yang istimewa pada sosok Dini. Dilihat sepintas, ia gadis teramat biasa.
Semuanya standar. Tetapi begitu berdekatan, aku merasa berat untuk
meninggalkannya. Apa yang menarik pada gadis ini sehingga aku begitu ingin
mendekatinya? Rasanya, aku tertantang untuk menemukan magnet yang tersembunyi
di balik kesederhanaannya itu.
Siang
ini, sepulang sekolah, aku membuntuti Dini. Misinya, aku ingin tahu di mana dia
tinggal. Damar, sahabat kentalku, setia menemani dalam ekspedisi ini. Dengan berboncengan,
kami merambat di belakang angkot yang menyemut di jalan raya. Aku harus waspada
agar tidak kehilangan jejak. Sebentar saja aku lengah, mungkin akan sulit
menemukan lagi angkot yang ditumpangi Dini.
Dua puluh menit setelah berdesakan di
jalan raya, angkot yang membawa Dini berbelok arah menuju pinggiran kota.
Meskipun aku tak pernah naik angkot, aku tahu persis, ini angkot mengarah pada
kawasan perumahan. Ada beberapa real estat di kawasan ini karena memang sudah
dicanangkan sebagai daerah perluasan kota. Aku tinggal di salah satu real estat
di kawasan ini. Berarti Dini juga tinggal di sini.
”Heh, jangan-jangan Dini tinggal di
sini,” kata Damar.
”Bukan hanya jangan-jangan, tapi sudah
pasti tinggal di sini,” jawabku.
Kami terus mengikuti angkot itu,
hingga berhenti di sebuah gerbang perumahan elit. Yups…! Ini perumahan tempat
tinggalku. Dari gerbang ini ke lokasi perumahan cukup jauh. Heran juga kalau
Dini tetap berjalan kaki. Ini menjadi pemandangan aneh. Biasanya penghuni
perumahan selalu menggunakan kendaraan untuk mobilitasnya.
Aku memperlambat motorku dan membuat
jarak cukup jauh dari Dini agar Dini tidak curiga. Setelah sampai di arena play ground, aku harus mengawasi lebih
intensif. Di sini ada persimpangan menuju blok A, B, dan C yang merupakan blok
paling mewah di perumahan ini. Bentuk rumahnya modern, ukurannya besar-besar,
fasilitasnya istimewa, dan hanya dimiliki para bos. Papa pernah mengatakan bahwa
ketiga blok itu bukan kelasnya keluarga kami. Maka, Mama harus menerima
kenyataan bahwa Papa hanya mampu membeli satu unit di blok H, mungkin untuk
kelas menengah.
”Ssstt…,Ido, dia belok ke kanan,
lihat,” kata Damar.
”Berarti dia tinggal di Blok C,”
jawabku.
Kami mengawasi dari jauh sampai akhirnya
Dini masuk ke rumah di Blok C 22. Sebuah rumah cukup mewah, berlantai dua,
dengan taman yang indah.
”Jadi
dia tinggal di sini?” gumamku.
”Kau belum pernah melihatnya selama
ini?”
”Sama sekali,” jawabku.
”Padahal kan bertetangga?”
”Iya, tapi jaraknya, kan, cukup jauh
juga. Lagi pula beda level,” kataku berkelakar.
Damar meninjuku, ”Hari gini masih mempermasalahkan hal begitu?
Feodal amat!” katanya.
”Dam, menurutmu ada yang ganjil
tidak?”
”Maksudmu?”
”Ya, aneh saja, rumahnya semewah itu,
tapi Dini memilih naik angkot dan jalan kaki. Apa ini bukan hal yang ganjil?”
”Mungkin Dini memang gadis yang
mandiri, tidak mau dimanjakan.”
”Iya, ya, itulah yang membedakannya
dengan gadis lain.”
”Mungkin juga, dia naik angkot khusus
hari ini karena sopirnya sedang libur, atau…, ah, masih banyak kemungkinan
lain, Do. Menurutku masih banyak hal yang harus kau cari tahu tantang gadis
impianmu ini, friend!”
”Itu pasti, sobat. Aku pasti akan
mencari tahu.”
Mengetahui di mana Dini tinggal sudah
memberi kenyamanan bagiku. Paling tidak, aku menjadi tahu ke mana aku harus
melangkah saat perasaan aneh menyeruak menggodaku. Terus terang, aku tidak
pernah mengalami perasaan seperti ini pada gadis-gadis lain yang mencoba
meanarik perhatianku.
Setelah penyelidikan siang itu, aku
masih terus mengawasi Dini. Aku ingin mengetahui lebih banyak hal tentang Dini.
Setelah yakin bahwa dia selalu naik angkot--apa pun alasannya-- aku
memberanikan diri untuk menawarkan tumpangan pada Dini. Sepulang sekolah, aku
sengaja berjaga di dekat pangkalan angkot. Aku berharap Dini tidak menolak
maksud baikku. Maka, ketika kulihat Dini tengah mencari angkot, aku segera
beraksi, menawarkan jasa.
”Din, pulang bareng saja sama aku, naik
angkot kan banyak ngetemnya.”
”Memangnya…? Kamu tahu…?”
Ups…! Aku lupa menyembunyikan rahasia bahwa aku pernah
membuntutinya.
”Kita, kan, satu jalur. Ayolah, tidak
baik menolak kebaikkan,” rengekku.
Meskipun tampak ragu dan bingung, Dini
menerima tawaranku. Perlahan tapi pasti, ia mendekati motorku, dan membonceng.
Amboi…! Akhirnya aku bisa membawa gadis impianku, meskipun dengan degup jantung
tak karuan. Senang, bangga, takut, malu, dan…, ah, tak terlukiskan mana kala
beribu perasaan mengharu biru di rongga dada.
Trip pertama ini berlangsung beku.
Sebenarnya aku ingin ngobrol banyak hal dengan Dini. Tapi, entah mengapa, sulit
memulainya. Dini pun tampak salah tingkah. Mudah-mudahan karena memiliki
perasaan yang sama denganku, atau karena ini saat pertama dia pergi dengan
cowok. Aku bingung memulai perbincangan. Yang jelas, perjalanan ini memposisikan
aku seperti layaknya tukang ojek. Untunglah, sebelum sampai di rumah, kami
punya kesempatan untuk berbincang.
”Kkamu...,” katanya ragu.
Kami hampir bersamaan mengucapkan kata
itu untuk memecah kebekuan.
”Mmaaf…,” katanya gugup, dan lagi-lagi
hampir bersamaan denganku untuk kata yang sama. Kami hanya saling tersenyum.
”Tampaknya kamu hafal betul jalan ini.
Bahkan langsung masuk gerbang perumahan tanpa keraguan sedikit pun. Dari mana
kamu tahu…,”
”Aku, kan, juga tinggal di sini, di
blok H. Tapi aku biasa lewat jalur samping setiap berangkat sekolah, jadi kita
tidak pernah ketemu,” kataku memotong.
”Oh, begitu,” jawabnya singkat.
Suasana kembali hening. Tampaknya Dini
tidak mau banyak bicara. Aku pun menjadi sungkan untuk banyak bertanya padanya.
Tak apalah, masih banyak kesempatan lain untuk mengobrol dan berbincang. Oleh
karena itu, aku tak berbicara lagi. Sepertinya kami lebih asyik dengan pikiran kami
masing-masing hingga perjalanan berakhir.
”Terima kasih,” kata Dini singkat
begitu kami berhenti di Blok C 22.
”Sama-sama,” jawabku.
Dini langsung masuk ke rumah. Aku
ternganga, heran, mengapa dia tidak mempersilakan aku untuk singgah barang
sebentar. Mengapa dia tidak berbasa-basi menawari aku mampir ke rumahnya? Andaikata
yang kubonceng adalah Vina, Athea, atau Gie, mungkin bukan hanya menawariku
untuk mampir ke rumahnya, tapi pasti memaksaku untuk berlama-lama singgah di
rumahnya. Tapi, Dini? Gadis ini memang aneh. Ah, mungkin saja Dini masih sangat
malu padaku, batinku. Aku mencoba menepis hal yang tak wajar ini.
Setelah keberhasilan trayek pertama
itu, aku mencoba untuk terus melakukan pendekatan lebih intensif. Rasanya, aku
ingin segera mengakhiri status jombloku. Dini adalah satu-satunya gadis yang
harus terlibat dalam pergantian statusku nanti, semoga! Maka, setiap pulang
sekolah, aku harus siap di posku untuk menanti Dini. Ceilah…aku sudah seperti
tukang ojek beneran, punya pos segala. Tapi tak mengapa, toh ini satu-satunya
cara untuk selalu dekat dengan Dini.
”Din, besok pagi kita berangkat
bareng, ya?” kataku sesampai di rumahnya, suatu siang. Kuberanikan diri untuk
memberikan tawaran itu setelah keberhasilanku memboncengkan Dini untuk yang ke
sekian kalinya.
”Hah,…, ah nggak, jangan!” jawabnya
gugup.
”Kenapa?” tanyaku penasaran. Aneh
betul Dini!
”Ah, nggak apa-apa. Aku biasa
berangkat sendiri.”
”Tapi kalau pulang sekolah bisa, kan,
kita selalu bareng?” tanyaku membujuk.
Dini hanya mengangguk. Tapi aku belum
puas dengan anggukan itu.
”Bisa, kan?” tanyaku memastikan.
”Boleh,” jawabnya.
Seribu tanya memenuhi kepalaku. Dini
tak pernah menawariku untuk singgah di rumahnya, tak mengizinkan aku
menjemputnya pagi hari untuk berangkat sekolah bersama, selalu mengalihkan
pembicaraan jika kutanya tentang keluarganya, selalu menghindar bila kutanya
tentang pacar. Selain itu, rasa penasaranku juga semakin menjadi. Mengapa
tinggal di rumah semewah itu, tapi puas dengan ke sekolah naik angkot? Mengapa
penampilan Dini sangat sederhana, jauh dari kesan anak gedongan? Benarkah ini
berkenaan dengan sikap Dini yang rendah hati itu?
Pertanyaan-pertanyaan seputar Dini tak
menggeser posisinya di hatiku. Sebaliknya, aku semakin bersemangat untuk
mengetahuinya. Bagiku, gadis yang menarik memang gadis yang masih menyimpan
misteri semacam itu. Kalau semua sudah dipamerkan, seperti kebanyakan gadis
yang sering menggodaku selama ini, aku tak akan tertarik lagi, sebab, tak ada
lagi misteri yang harus kukejar untuk kuselami. Dini gadis yang special, ia
sangat menjaga sikap. Bagi yang belum mengenalnya, ia adalah gadis yang dingin.
Tapi, ia memiliki charisma yang memikat. Aku beruntung bisa mendekatinya.
Hari ini aku berniat untuk melengkapi
keberuntunganku. Aku tak tahan lagi dengan rasa penasaran yang menderaku. Bukan
untuk mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seputar keluarga Dini, tetapi
untuk mendapatkan kepastian tentang perasaan Dini padaku. Sudah saatnya Dini
tahu perasaanku yang sebenarnya. Maka, mumpung ini malam Minggu, aku
memberanikan diri untuk menembak Dini.
Setelah yakin dengan penampilanku, aku
segera menuju Blok C 22. Aku berharap
sikap gentle seperti inilah yang diinginkan Dini setelah ia mengelak setiap
kutanya tentang teman dekat, menghindar
saat kutanya nomor telepon, dan bersikap sinis saat kutantang nge-date.
Mudah-mudahan kunjunganku ini berkenan bagi Dini dan keluarganya. Dengan
segenap cintaku, aku kumpulkan keberanian untuk menemui Dini. Dan, atas nama
cinta pula, aku rela mematung di depan
rumahnya, menunggu seseorang membukakan pintu.
”Selamat malam, Oom,” sapaku ramah,
begitu pintu terbuka.
Seorang lelaki berdiri di pintu, dan
memberikan senyum teduhnya. Aku tidak bisa memastikan lelaki itu sebagai ayah
Dini karena, rasanya, masih terlalu muda untuk memiliki anak seusia Dini. ”Ya,
selamat malam. Maaf, ada perlu apa ya, atau mau ketemu siapa?” tanyanya ramah.
”Ah, iya, kalau diizinkan, saya ingin
ketemu Dini, Oom.”
”Dini?” tanyanya gamang. Cara bertanya
lelaki itu membuat nyaliku ciut.
”Iya, Dini, Oom! Saya Ido, teman
sekolahnya. Dia ada, kan, Oom?”
”Oh, silakan duduk dulu!” katanya
kemudian.
Kami duduk bersama. Lelaki itu
bertanya banyak hal tentang aku, mulai dari tempat tinggalku, pekerjaan orang
tua, kegemaranku, juga tentang seberapa dekat pertemananku dengan Dini. Hal ini kuanggap wajar. Sebagai orang tua, ia
wajib tahu hal ihwal tentang anaknya, termasuk sahabat-sahabatnya. Papa juga
melakukan hal itu padaku. Dengan gaya bicaranya yang santai, aku tak merasa sedang
diinterogasi. Mudah-mudahan ini pertanda bahwa aku diterima di keluarga ini.
Aku semakin tak sabar, tapi Dini tak
juga muncul. Bukankah aku ke sini untuk bertemu dengannya? Tapi lelaki ini tak
segera memanggil Dini. Sebenarnya ada atau tidak dia, lelaki ini papanya atau
bukan, aku dizinkan bertemu atau tidak? Hhh…aku jadi gelisah.
”Apa Dini sedang keluar, Oom?” tanyaku
memberanikan diri.
”Engg, tidak, eh…, iya…!”
Aku semakin tak mengerti dengan
kegamangan lelaki ini.
”Maksud, Oom?”
”Ehm, begini, mas Ido,…,” ia tampak
ragu, ”sebenarnya, Dini tidak tinggal di sini. Dia tinggal di kampung sebelah.”
”Ttapi…?”
”Iya, Oom tahu, kamu sering
mengantarnya ke sini sepulang sekolah. Tapi ia hanya sebentar di sini. Menjelang
maghrib dia akan pulang ke rumahnya setelah pekerjaannya selesai.”
”Jadi…, Dini…?”
”Sebenarnya Oom sudah melarangnya
untuk bekerja di sini. Biarlah ia berkonsentrasi pada belajarnya. Oom akan
tetap menanggung biayanya. Tapi dia bersikeras untuk menggantikan kewajiban di
rumah ini sampai ibunya sembuh.”
Lelaki yang akhirnya kupanggil Oom
Zein itu menuturkan banyak hal yang selama ini kupertanyakan. Sekalipun
penuturan Oom Zein bisa menjawab segala tanya yang selama ini menggelitik
benakku, tetapi tak tertutupi kekagetanku. Ternyata Dini adalah tukang cuci dan
binatu di rumah ini, menggantikan ibunya yang sedang sakit. Pagi hari ia
berangkat sekolah dari rumahnya, dan pulang sekolah ke rumah ini untuk bekerja,
menggantikan ibunya.
”Bagaimana, Mas Ido? Kamu akan berubah
pikiran?”
Aku terdiam. Perasaanku pada Dini
terlalu dalam, haruskah terhapus hanya karena dia tidak seperti yang
kubayangkan selama ini? Bagiku, Dini tetap Dini, apa pun keadaannya, siapa pun
orang tuanya, dan di mana pun ia tinggal. Keadaan Dini sekarang bukanlah hal
yang hina. Sebaliknya, merupakan
kelebihan dalam kepribadian Dini karena gadis lain belum tentu bisa
menjalaninya.
”Menurut Oom, berubah pikiran itu
mudah, tetapi mengubah perasaan tentu tidak mudah.” Oom Zein seperti menebak
perasaanku.
”Saya sependapat dengan Oom.”
”Bagus, Bagus…! Itu sikap yang gentle.
Oom bangga padamu. Dini pantas dicintai orang sepertimu,” kata Oom Zein menepuk
pundakku.
Ada perasaan bangga di hatiku. Aku
segera berpamitan, dan beberapa menit kemudian motorku sudah merangkak di
sebuah gang kecil, di kampung sebelah. Aku harus bertemu Dini malam ini juga.
Wakuncar yang sudah kupersiapkan tidak boleh gagal hanya karena Dini bukanlah
penghuni Blok C 22. Sudah tetap dalam hatiku, Dinilah gadis yang akan mengubah
status jombloku.
Rumah tua, semi permanen, tapi
terlihat bersih dan terawat. Kupastikan, di sinilah Dini tinggal. Aku sudah
menemukannya sesuai dengan petunjuk Oom Zein.
”Permisi…!” sapaku setelah mengetok
pintu.
Tak lama kemudian pintu terbuka, dan
sesosok gadis berdiri ternganga. ”I..Iddo?” katanya kemudian. Aku tahu,
kedatanganku pasti mengejutkan.
”Boleh aku masuk?” tanyaku kemudian.
Sebenarnya aku sedang menyindir karena Dini tak pernah mempersilakan aku masuk
setiap mengantarnya pulang.
”Silakan, silakan! Ee…Ido, dari mana
kamu tahu rumahku?”
”Dari sini!” kataku menunjuk
jantungku, ”aku hanya mengikuti kata hatiku.”
”Kau tak pantas berada di sini, Do.
Bukan di sini tempatmu.”
Butir air mata menitik di pipi Dini.
Entah apa yang sedang dirasakannya. Tapi tampaknya bukan rasa sedih atau
kecewa. Aku tidak perlu menunggunya lagi untuk mengungkapkan sesuatu. Kuraih
tubuh mungil itu dalam dekapanku. Entah mengapa aku berani melakukannya. Inilah
pertama kalinya aku merasa menjadi superhero yang harus melindungi peri kecil.