Home » , » MENDAMBAKAN SEKOLAH BERWAWASAN ‘KID CULTURE’

MENDAMBAKAN SEKOLAH BERWAWASAN ‘KID CULTURE’

MENDAMBAKAN SEKOLAH 
 BERWAWASAN ‘KID CULTURE’ 
(Magelang Eskpress, Senin, 2 Mei 2011)

Tujuh orang siswa dibariskan di lapangan basket saat terik matahari. Dua diantaranya tak henti mengutuki dirinya mengapa sampai lupa mengerjakan PR sehingga harus berpeluh-peluh begitu. Tiga yang lainnya tertunduk lesu. Ia pasrah pada nasib karena memang nyaris tak punya waktu untuk mengerjakan PR. Setiap hari pulang sore karena mengikuti penambahan jam di sekolah, dan pagi sekali sudah harus tiba di sekolah mengikuti jam ke nol. Dua siswa lainnya hanya cengar-cengir, menahan panas. Keduanya sudah mengerjakan PR, tetapi tidak sesuai dengan perintah gurunya. 

Kejadian di atas bisa saja dianggap wajar. Tindakan guru memberi sanksi pada siswa adalah hal yang bisa dipahami sebagai konsekuensi logis dari sebuah pelanggaran. Sebagian orang bahkan berpendapat bahwa pemberian hukuman merupakan bagian dari upaya mendidik siswa. Tanpa sanksi seperti itu, dikhawatirkan siswa akan mengulangi pelanggaran yang sama di lain waktu. Jadi, hukuman semacam itu merupakan upaya untuk memberi efek jera pada pelanggar, dan sekaligus sebagai warning bagi siswa lain agar tidak melakukan pelanggaran yang sama. Suatu argumen yang sempurna! 

 Dipandang dari pihak guru, sepertinya hal itu bisa diterima. Bagaimana jika ditinjau dari pihak siswa? ”Saya tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan. Ketika saya tidak bisa menunjukkan pekerjaan, langsung disuruh keluar, dan dijemur,” katanya. Sungguh malang anak ini. Ia tidak mendapatkan hak untuk berargumen dan membela diri. Padahal UU No 23 tahun 2002 pasal 10 mengamanatkan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Jika guru yang mereka anggap lebih arif saja tidak bisa mengakomodasi pendapat mereka, kepada siapa lagi mereka akan berani menyatakan pendapat? 

Hak Anak 

Bahwa sekolah merupakan lembaga untuk melayani masyarakat memang sudah sangat jamak dilontarkan. Namun, jika ditanyakan tentang implementasinya di sekolah, tampaknya akan sulit menjawabnya. Betapa tidak, yang terjadi di lapangan terkadang justeru hal yang sebaliknya. Sesuai dengan harapan masyarakat, mestinya sekolah dipercaya untuk mengantar tumbuh kembang anak, memberikan pendidikan dan pengajaran yang optimal. Namun alih-alih menjadi pelayan, terkadang sekolah malah memaksakan kehendak. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah sering kali tidak berorientasi pada tumbuh kembang siswa, tetapi justeru berorientasi pada target-target tertentu. 

Siswa tidak lagi menjadi subjek pendidikan, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Jika sekolah sudah menetapkan target lulus 100% dalam ujian nasional, maka anak harus siap diajak ‘berlari’ untuk mencapai target tersebut. Jika sekolah sudah menetapkan target untuk meraih peringkat satu dalam ujian nasional, siswalah yang harus di-drill dengan berbagai treatmen untuk mewujudkannya. Demikian juga untuk target-target yang lain, sekolah yang menetapkan, anak yang harus mencapainya. 

Sering kali, demi mencapai target tersebut, sekolah mengabaikan hak-hak anak. Siswa menjadi kehilangan waktu bermain, kesempatan bersosialisasi, dan saat bersantai karena harus mengikuti berbagai kegiatan di sekolah. Ada-ada saja kegiatan sekolah yang mengebiri waktu dan kesempatan anak, mulai dari les sore, ekstrakurikuler, jam ke-0, bimbingan prestasi, dan sebagainya. Ironisnya, sekolah melakukan semua itu dengan mengatasnamakan kepentingan anak. Padahal, disadari atau tidak, hal itu bukanlah ambisi anak, melainkan ambisi pihak lain yang ingin dianggap berprestasi, bermutu, dan berprestise. 

 Hadi Supeno, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menengarai ketidaknyamanan sekolah bagi tumbuh kembang anak. Dalam salah satu artikelnya, Supeno menyatakan bahwa pendidikan berlangsung mekanis, instruktif, uniform, dan didesain semata-mata untuk bersaing, bukan bekerjasama (www.kpai.go.id Mei 2008). Mengapa demi prestise, sekolah tega mengeksploitasi anak? 

 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, Bab III pasal 11 menyatakan dengan jelas bahwa; Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Nah, jika sekolah sudah menetapkan seabreg program, target, dan impian, kapan hak anak pada pasal tersebut bisa dipenuhi? 

 Kid Culture 

 Mengacu pada UU no 23 tahun 2002, sistem pendidikan yang paling sesuai adalah pendidikan ramah anak. Sistem pendidikan ini telah digagas oleh KPAI. Oleh Seto Mulyadi, yang akrab dipanggil Kak Seto, pendidikan ramah anak didefinisikan sebagai pendidikan yang mengedepankan rasa kasih sayang dan bukan kekerasan, mengedepankan pujian, bukan umpatan, mengedepankan asah, asih, dan asuh, bukan intimidasi dan tekanan. Singkatnya, pendidikan ini mengedepankan kepentingan anak, bukan kepentingan orang dewasa (guru, sekolah, dan pemerintah). 

Sekolah memang mempunyai kewenangan membuat peraturan dan tata tertib sekolah, namun penyusunannya harus melibatkan pemangku kepentingan sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Kesepakatan dan kesepahaman mengenai peraturan dan tata tertib sekolah merupakan pembiasaan siswa mempunyai perilaku, sikap dan bahasa yang baik dalam upaya sekolah mengembangkan kepribadian dan karakter siswa seusuai dengan UU No 20 tahun 2003, dan UU no 23 tahun 2002. Sekolah yang bijak akan mengawal dan menjaga siswanya menaati peraturan dan tata tertib sekolah dengan baik, tanpa mengabaikan hak-hak anak. Sebab yang menjadi prinsip utama adalah pelayanan tumbuh kembang anak secara utuh. 

Sekolah yang bisa mengedepankan pendidikan ramah anak ini tentu saja layak disebut sekolah berwawasan Kid Culture. Yakni sekolah yang benar-benar mengutamakan pelayanan terhadap anak. Sekolah berwawasan kid culture adalah sekolah yang berpihak pada kultur anak. 

 Seluruh Aspek 

Keberpihakan sekolah pada anak tidak hanya terwujud dalam pola asuh saja, tetapi mencakup hampir seluruh aspek. Aspek yang pertama adalah pendidik (guru) dan tenaga kependidikan. Sekolah berwawasan Kid Culure harus membekali tenaga pendidik dengan paradigma yang bulat bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus mengutamakan hak dan kepentingan anak. Jadi, setiap pendidik harus sudah memiliki maind set tentang tugas keguruannya, yakni melayani anak. Mengapa harus dari guru dulu yang dipersiapkan? Data di KPAI mencatat bahwa 11,3% kekerasan terhadap anak (KTA) dilakukan oleh guru. Hal ini sangat jauh dari keinginan UU No 23 tahun 2003 pasal 54 yang menyatakan bahwa anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. Nah, peran guru begitu besar untuk menciptakan rasa aman dan nyaman di lingkungan sekolah. 

Aspek kedua, kurikulum. Kurikulum disusun dengan mengakomodasi tumbuh kembang anak. Pada masa sekarang hal ini sangat mungkin karena berdasarkan PP No 19 Tahun 2005 Pasal 17 Ayat (2) kurikulum disusun oleh sekolah dan komite sekolah, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Selanjutnya pada pasal 20 tentang prinsip-prinsip pengembangan KTSP dinyatakan bahwa kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik (anak) memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya. Jadi, kurikulum tidak bisa menjadi kendala bagi penyelenggaraan pendidikan ramah anak. Sekolah tidak bisa berdalih bahwa kurikulumlah yang menghambat terlaksananya sekolah berwawasan Kid Culture. 

Aspek yang ketiga, proses belajar mengajar (PBM). Sekolah berkultur anak mengarah pada proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM). Dalam hal ini Kak Seto menambahkan lagi dua ciri, yakni berbobot dan menggembirakan. Pembelajaran yang bersifat teacher oriented sangat jauh dari harapan sekolah berwawasan Kid Culture. Sebab, pembelajaran yang demikian pastilah tidak akan berlangsung secara menggembirakan bagi anak. 

Aspek keempat, konseling (pembimbingan). Sekolah yang berwawasan Kid Culture menempatkan konseling dalam posisi yang sangat penting. Layanan konseling ini yang akan memegang peran strategis dalam pendampingan secara asah, asih, dan asuh. Layanan konseling juga berperan memastikan setiap kebijakan sekolah harus bersifat aspiratif dan komunikatif, sehingga tetap mengedepankan kepentingan anak. 

Aspek lainnya adalah fasilitas dan sarana prasarana. Sekolah harus dipastikan memberikan lingkungan yang aman dan nyaman. Untuk mewujudkannya tentu tak akan lepas dari tersedianya fasilitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Maka, sekolah berwawasan Kid Culture harus menyediakan fasilitas yang dibutuhkan siswa, seperti kamar mandi yang mencukupi, tempat ibadah yang memadai, perpustakaan yang nyaman, tempat ibadah yang baik, sarana kesehatan (UKS) yang memenuhi standar, dan tersedianya ruang publik untuk berinteraksi dengan sesama warga sekolah, seperti taman, bangku taman, dan kantin yang representatif. 

Menggagas penyelenggaraan sekolah berwawasan Kid Culture seperti di-ungkapkan di atas bukanlah perkara mudah. Dalam pelaksanaannya sangata mungkin dihadang berbagai hambatan. Namun demikian, hambatan pasti akan bisa dipecahkan. Lagi pula, jika masih tetap takut-takut untuk melaksanakannya, berarti sekolah kurang akomodatif terhadap kebutuhan negara untuk memiliki generasi yang smart, ceria, kreatif, dan mandiri. Sekolah yang berwawasan Kid Culture akan menghasilkan generasi byang demikian itu. Bukan seperti yang terjadi sekarang, disadari atau tidak, sekolah seperti mencetak robot-robot yang sepi ide kreatif. Lantas, tunggu apa lagi? Mari kita wujudkan sekolah berwawasan Kid Culture .
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Binawa Litera - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger