KAPAN BAHAGIA
Oleh : Inok Binawa
Menurut saya, itu bukan untuk orang lain, melainkan untuk dirinya sendiri. Orang yang senang mengucapkan pesan seperti ini -bisa jadi- hanya sekadar menakar kebahagiaan orang lain dengan takarannya sendiri. Ia menganggap orang lain seperti dirinya yang sulit menciptakan bahagianya sendiri.
Ia sedang menasihati sendiri untuk tetap bahagia di tengah kegetiran hidupnya.
Orang yang hidupnya bahagia tak akan memiliki waktu untuk mengusik kehidupan orang lain. Pun untuk sekadar mengingatkan untuk bahagia. Ia akan yakin bahwa orang lain memiliki bahagianya sendiri-sendiri. Dan, nyatanya, setiap orang memiliki takaran bahagia sendiri-sendiri.
Apa yang terasa berat pada orang lain -sebenarnya- bukan ukuran apakah ia bahagia atau tidak. Atau, sebaliknya, apa yang membuat kita bahagia, belum tentu hal itu menjadi penyebab bahagianya orang lain. Setiap orang -sekali lagi- memiliki bahagianya sendiri.
Alasan Bahagia
Suatu saat, di kelas parenting, seorang lelaki tengah baya yang menjadi mentor di kelas itu menuturkan kebiasaannya di rumah. Ia selalu memasak untuk keluarganya di hari libur. Tugas memasak ini diawali dari berbelanja, memasak, menyajikan, dan membereskan dapur dalam keadaan bersih. Padahal, sebagai seorang ekskutif di perusahaan ternama, sebenarnya ia tak harus begitu. Ia bisa saja membawa keluarganya untuk makan di resto untuk memanjakan lidah. Tapi lelaki ini memilih memasak sendiri. Bahkan untuk urusan rumah tangga yang lain, seperti bebres rumah, bertaman, atau mengurusi pakaian anak-anak yang biasanya dikerjakan oleh perempuan.
Mendengar aktivitas domestik pria tersebut, ibu-ibu yang hadir di kelas parenting itu berdecak kagum. Lalu, seorang ibu menyeletuk, "Wah, bahagia sekali isteri Bapak, ya?" Pertanyaan itu tentu saja mewakili banyak ibu yang lainnya. Dan, jawabannya, sudah barang tentu sangat ditunggu.
"Oh, saya tidak tahu isteri saya bahagia atau tidak dengan kegiatan saya ini. Saya juga melakukannya untuk kebahagiaan saya sendiri, bukan untuk kebahagiaan isteri saya."
"Tapi kebangetan jika isterinya tidak bahagia, memiliki suami seperti itu," bisik ibu yang lainnya.
"Isteri saya orang yang mandiri. Kebahagiannya tidak bergantung pada orang lain. Dia punya ukuran sediri untuk kebahagiannya. Saya bangga padanya. Sebab, kebahagiaannya tidak ditentukan oleh sikap saya. Jadi, jika suatu saat saya tidak melakukan aktivitas seperti saya ceritakan tadi, isteri saya tidak akan kehilangan bahagianya."
Hak Bahagia
"Dia sih pantas bahagia dengan apa yang sudah diraihnya sekarang ini."
"Kamu harusnya bersyukur. Tidak banyak orang yang sebahagia kamu."
"Saya tidak mau bersenang-senang dulu sampai rumah saya jadi, besok."
Orang-orang yang mengucapkan kata-kata tersebut hidupnya bisa kering. Sebab ia memandang kebahagiaan seperti memandang pelangi yang selalu berada di atas kepala orang lain. Pandangan seperti ini selalu menempatkan orang lain yang berhak bahagia, sedangkan dirinya tidak. Ia mengira bahagia itu menjadi hak orang lain. Dia merasa belum saatnya berbahagia.
Sebenarnya, tidak ada waktu khusus untuk berhak bahagia. Mereka yang menunda bahagia itu belum tentu akan meraih bahagianya pada waktu yang diimpikannya. Atau, bisa jadi, ketika waktu bahagianya tiba, usianya sudah tidak memenuhi syarat untuk bahagia (ups...!).
Pikirkan baik-baik untuk menunda bahagia atau mencari-cari waktu untuk bahagia.
Jadi, kapan kita akan bahagia?
Bahagia itu tidak akan datang kalau kita tidak menciptakan.
Ciptakan kebahagiaan Anda tanpa menundanya.