Pada setiap peringatan bulan bahasa, khalayak selalu
diingatkan pada sebuah ungkapan tentang ’bahasa menunjukkan bangsa’. Ungkapan
ini sebenarnya merupakan kristalisasi nasihat dari para generasi terdahulu akan
pentingnya berbahasa secara santun, baik, dan benar. Namun, perlu disayangkan karena pemahaman
terhadap ungkapan ini masih sering rancu. Tidak sedikit orang yang berpendapat
bahwa ’bahasa menunjukkan bangsa’
berarti ’suku bangsa atau ras seseorang bisa dikenali melalui bahasa yang
digunakannya’. Misalnya, orang yang
berbahasa Belanda pastilah dia bangsa Belanda. Orang yang berbahasa Perancis
pastilah dia berkebangsaan Perancis, yang berbahasa Jepang pastilah bangsa
Jepang, dan yang berbahasa Indonesia sudah barang tentu bangsa Indonesia.
Ironisnya, pemahaman seperti ini juga terjadi di sekolah.
Persepsi seperti ini tentulah tidak benar. Sebab,
pemakaian bahasa sekarang ini sudah mulai mengglobal. Bahasa sudah bersifat
universal, dan tidak lagi menunjukkan
kesukuan atau kebangsaan. Nyatanya, orang yang berbahasa Belanda belum
tentu bangsa Belanda, orang yang berbahasa Perancis belum tentu berkebangsaan
Perancis. Demikian juga pengguna bahasa Jepang, Arab, Indonesia, belum tentu
mereka adalah bangsa Jepang, bangsa Arab, atau bangsa Indonesia. Apakah dalam
hal seperti ini bahasa bisa menunjukkan kebangsaan? Lantas, bagaimana
meluruskan persepsi ini?
Berarti
‘kalangan’
Bahasa menunjukkan bangsa. Kata bangsa pada ungkapan tersebut akan lebih tepat jika jika dimaknai
sebagai ’kelas’, ’kelompok’, atau ’kalangan’. Dengan demikian, ungkapan
tersebut bisa dimaknai; bahasa seseorang akan menunjukkan dari kalangan apa
dia. Misalnya, dilihat dari ciri
bahasanya, Pak Sadeli adalah petani (bangsanya petani), dilihat dari
cara berbahasanya, Bu Ningrum adalah seorang politisi (bangsanya politisi), dan
dari bahasanya pula, Indri adalah seorang guru (bangsanya pendidik).
Kepada anak didik perlu dipahamkan bahwa untuk mengenali
seseorang dari kalangan atau kelompok apa mereka, bisa dilakukan dengan dua
cara. Pertama, mencermati topik pembicaraannya. Jika
seseorang banyak berbicara tentang musim tanam, pengolahan sawah, harga pupuk,
hasil panen, atau hama tanaman, kemungkinan dia adalah bangsanya petani. Jika
seseorang berbicara tentang partai, kampanye,
pemilu, dan pemerintahan, kemungkinan dia dari kalangan politisi. Kedua, dilihat dari sikap berbahasanya. Bangsanya
pendidik, biasanya memiliki sikap berbahasa yang santun, cermat, dan
sistematis. Sebaliknya, bangsanya kernet, sopir angkutan umum, kondektur,
pengamen, dan orang terminalan cenderung memiliki sikap berbahasa yang kurang
santun.
Perlu juga siswa memahami bahwa sikap berbahasa juga bisa
menunjukkan kepribadian seseorang. Orang yang berbahasa secara santun, cermat,
dan efektif akan dinilai sebagai orang yang berkepribadian baik, dari bangsanya
orang berpendidikan. Sebaliknya, orang
yang berbahasa secara ’amburadul’, tidak santun, dan tidak teratur akan dinilai
sebagai orang yang kurang arif dan tidak berpendidikan.
Sudah sepantasnya
menjadi tugas pendidik untuk mengajak siswa berbahasa secara santun,
efektif, dan cermat, sebab bahasa yang kita gunakan akan menunjukkan dari
kalangan (bangsa) apa kita sebenarnya. Hal ini bisa dimulai dengan menyambut
baik himbauan pemerintah dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar. Sebab, bahasa menunjukkan bangsa!