Kumandang adzan subuh mengalun dari
sebuah mushola kecil di pinggir kali. Beberapa saat kemudian kidung puji-pujian
mengumandang, menyibak dinginnya udara pagi, menyelusup rimbun rumpun bambu. Aku sudah bisa memastikan, pastilah Mbah Naryo
yang bersenandung. Siapa lagi kalau bukan beliau? Orang lain biasanya lebih memilih bergelung di bawah selimut,
mencoba mengusir dinginnya udara di awal musim kemarau. Aku sendiri lebih suka
mendekap Azizah, dan beralasan bahwa bayiku masih menetek. Nanti sajalah,
terlambat solat subuh pasti dimaklumi. Di samping itu, buat apa terburu-buru
bangun, toh ini tidak di pengungsian, jadi tidak harus berebut kamar mandi.
Aku pantas bersyukur sudah boleh meninggalkan tenda pengungsian di
kecamatan. Sebenarnya aku mengungsi bukan karena takut wedhus Gembel yang
sewaktu-waktu akan meluncur dari puncak merapi. Sudah sejak bertahun-tahun aku
akrab dengan polah tingkah Merapi, dan bersahabat dengan Wedhus gembel. Aku
dan warga yang lain menerima gejolak
Merapi sebagai suatu kewajaran. Dulu tidak pernah ada yang meributkan
keselamatan kami. Tetapi akhir-akhir ini kami dibuat cemas oleh pemberitaan
yang heboh, baik di koran maupun di TV.
Aku sendiri tidak tahu mengapa Merapi menjadi pusat perhatian.
Pemberitaan yang superheboh dan pemerintah yang takut dinilai lamban menyikapi
Merapi, menyebabkan kami diuber-uber
para pamong desa untuk mengungsi. Padahal Merapi masih tenang-tenang saja.
Berat bagi kami berpisah dengan ternak-ternak kami. Tapi, aku sendiri risih setiap
saat diuber pakai kentongan dan sirine untuk segera naik ke truk-truk
pengangkut.
”Kami hanya
ingin sampeyan-sampeyan ini selamat,”
kata Pak Pamong.
”Tapi Merapi kan belum meletus?
Mengapa kami sudah harus mengungsi?”
”Kalau menunggu
meletus, bagaimana kami bisa mengamankan sampeyan…?”
”Sudahlah, wong di sana juga diopeni,
tinggal makan enak, tidur nyenyak, kok masih ngeyel…!” tambah Pak Sekdes nyinyir.
Aku hanya terdiam. Tak ada gunanya lagi menjawab. Toh mereka juga hanya
melaksanakan tugasnya sebagai pamong. Aku dengar dana untuk pengungsi memang
sangat besar untuk daerah kami. Pantas saja Pak Pamong menjanjikan makan enak
di pengungsian. Dana yang besar sudah turun, tetapi Merapi masih tenang-tenang
saja. Apa jadinya kalau ternyata tidak ada warga yang mau mengungsi? Tentunya
aparat akan mendapat malu. Maka, mau tidak mau, harus ada warga yang mengungsi.
Dengan cara apa pun!
”Ayo jalan,
tunggu apa lagi? Tidak usah banyak-banyak barang yang dibawa!” Bu RT menarik
tanganku kasar.
”Maaf, tapi
anakku…!” Aku bermaksud ingin masuk ke rumah lagi untuk mengambil popok lebih
banyak dulu karena balitaku masih mengompol. Apa jdinya kalau tidur di tenda
dan ompol anakku ke mana-mana.
”Ya justru sampeyan punya dua balita itu maka kami
dahulukan untuk mengungsi!” sahut Pak Pamong tak mengerti.
”.Maksudku…”
”Sudahlah! Ini
harus segera. Jam empat nanti ada shootingan di tempat pengungsian.
Sampeyan-sampeyan ini mau diliput, masuk TV,” jelas salah satu staf kecamatan.
”Nanti kalau
ditanya-tanya oleh wartawan atau bapak-bapak pejabat, jawab saja bahwa sampeyan
sangat berterima kasih karena pemerintah sangat peduli pada keselamatan sampeyan,” kata seorang bapak dari
kantor kecamatan.
”Dengar…Mbah?”
Tanya Bu RT mengarah pada Mbah Samini.
”Inggih, Bu.”
Aku terbawa arus
saja bersama kedua balitaku, Rahman dan Azizah, menaiki truk bersama pengungsi
lain. Berdiri di bak truk, bergoyang-goyang di atas jalan berbatu, aku hanya
sempat melambaikan tangan pada suamiku yang pulang dari sawah.
”Jaga
anak-anak…!” teriak suamiku sambil membetulkan letak rumput di punggungnya.
”Pasti…! Jangan
khawatir…!” balasku tak kalah kerasnya, sekadar menghalau rasa tak nyaman yang
menyeruak di rongga dada.
Truk perlahan,
menjauh dari lereng Merapi, meninggalkan kampung halamanku.
Kami terangguk-angguk
di atasnya. Azizah kudekap dengan erat untuk mengusir angin yang semribit menerpa kepala kami, sementara
Rahman terduduk dengan manis di atas buntalan barang bawaan kami. Setengah jam
kemudian truk yang membawa kami memasuki lapangan Kecamatan Banyubiru
Luar biasa…! Kami disambut layaknya tamu penting. Puluhan pejabat berlari
ke arah kami, diikuti beberapa orang
membawa kamera besar yang terus mengarah pada kami. Beberapa orang berusaha mengacungkan
mike dan bertanya kearah kami, tetapi salah satu petugas segera melarangnya.
”Nanti...! Nanti
dulu, wawancaranya nanti saja. Biarkan
mereka beristirahat di tenda dulu!”
”Ayo semua
turun..! Kami akan tunjukkan tenda untuk sampeyan!”
Aku masih termangu di atas truk. Azizah masih kudekap. Kepalanya kututupi
ujung jarit untuk menyembunyikan
mulutnya yang masih mencecap tetekku. Dari atas truk kulihat deretan
tenda-tenda tertata rapi di sebelah kiri lapangan. Sementara di sebelah kanan
berjajar tenda dengan ukuran lebih kecil dengan warna yang berbeda. Beberapa
tenda bergambar lambang-lambang partai seperti yang kulihat dalam kartu pemilih
saat pemilu lalu.
Dari tenda-tenda itulah beberapa lelaki berlari keluar, dan dengan sigap
membantu kami turun dari truk. Pada kaos yang dikenakannya tertulis; RELAWAN PEDULI MERAPI, lalu di
bagian dadanya bergambar lambang partai tertentu. Ada juga yang berpakaian
mirip tentara, pada bagian punggungnya tertulis LASKAR BELA RAKYAT, yang lainya lagi hanya mengenakan
kaos putih biasa bertuliskan PEMUDA
TANGGAP BENCANA dan dilengkapi lencana bergambar partai pula. Mereka
berebut untuk memberikan bantuan pada kami, sepertinya mereka bersaing untuk
dinilai paling peduli pada nasib kami.
Aku dituntunnya dengan hati-hati. Dengan senyum ramah, Azizah dililingnya.
Seorang pemuda tampan menggamit tangan Rahman dan menuntunnya, sedangkan tangan
lainnya menjinjing buntalan berisi pakaian kami. Aku melangkah dengan ragu di
antara lalu lalang wartawan yang memanggul kamera-kamera besar. Apa istimewanya
kami sehingga mereka begitu perhatian pada kami.
”Tolong Mas, tolong beri jalan dulu. Ibu ini akan segera menidurkan
bayinya,” ungkap seorang pemuda yang menuntunku.
”Kami juga butuh berita, Mas!” jawab seorang wartawan agak gusar.
”Saya tahu, tapi
saya juga berkewajiban menjalankan tugas saya dengan baik, sebagai relawan.”
Ooh…, dia relawan! Tukang menolong rakyat kecil rupanya. Tapi mengapa
harus bermarkas di sini, menunggu pengungsi datang? Mengapa mereka tidak naik
saja ke lereng Merapi, tinggal bersama kami, sehingga bila sewaktu-waktu Merapi
benar-benar meletus, mereka bisa menolong kami? Mengapa mereka hanya menunggu
kami turun ke sini, dan setelah sampai di sini baru mereka berebut untuk
menarik simpati kami? Seandainya saja mereka mau menyertai kami, di desa, tentu
kami lebih merasa tenang. Dana yang dikeluarkan pemerintah tidak akan terlalu
besar, sebab kami pasti akan dengan suka rela menjamu mereka. Tapi…entahlah! Yang
jelas, mereka justru membuat posko di sini.
Aku menurut saja mengikuti langkah pemuda yang menggandengku. Berjalan
lambat, berdesak-desakan hingga sampai di tenda.
”Nah, Ibu, ini
tenda Ibu. Silakan Ibu beristirahat dulu,” kata pemuda itu.
”Inggih. Maturnuwun, Mas!” jawabku singkat.
Baru saja pemuda itu berlalu, datang pada kami seorang gadis cantik.
Dengan senyuman ramah ia memberi penjelasan tentang letak kamar mandi, jam
makan, peminjaman peralatan tidur seperti bantal dan selimut, dan lain-lain. Dan
semua penjelasan itu hanya mampu kujawab, ”Inggih,
maturnuwun.”
Sore hari, sehabis makan malam yang tidak menjadi kebiasaan kami
sebelumnya, kami bisa menonton TV bersama. Di sebelah tenggara lapangan, di
samping kantor kecamatan, di sana
ada TV sangat besar yang bisa ditonton dari jarak cukup jauh. Rahman merengek
sambil terus menarik-narik bajuku untuk menonton lebih dekat. Maklum, di rumah
tidak ada TV, jadi ia ingin menonton sepuasnya. Aku ikuti saja langkahnya
sambil terus mendekap Azizah dalam gendonganku.
Aku berharap bisa menonton hiburan, kemeriahan kota, atau film India yang penuh dengan tarian.
Tetapi saying sekali, ternyata yang sedang ditayangkan adalah tentang Merapi
juga. Bahkan…, astaga….! Aku bisa menonton desaku yang sunyi setelah ditinggal
mengungsi, menonton pengungsi di lapangan ini, dan…menonton diriku sendiri.
Beberapa di antara kami akan tertawa-tawa saat melihat wajah kami nongol di TV,
begitu juga anakku.
”Mak…,
Mak…lihat, aku masuk TV!” teriak Rahman menunjuk TV.
”Iya, iya, Emak
sudah lihat,” jawabku.
Kulihat Rahman sedang dibantu oleh seorang relawan saat turun dari truk,
dan aku digandeng seorang pemuda saat dikerumuni oleh para wartawan. Wah cepat
sekali beritanya masuk TV, padahal baru terjadi beberapa jam yang lalu.
”Eh, itu kan
Kang Wasiyo yang nyunggi karung itu, Mak? Dia tidak ikut ngungsi kok ikutan
masuk TV, Mak?”
”Iya, ya?
Ssstt…jangan berisik, coba dengar dulu beritanya!” aku menenangkan Rahman.
Walaupun sebenarnya aku heran, mengapa Wasiyo bisa masuk TV. Sepertinya karung
yang dibawanya tidak berisi bekal mengungsi. Biasanya Wasiyo akan memikul
karung sepulang dari belanja di pasar.
Bukankah setiap hari memang ia kulakan di pasar Talun? Karena memang
dialah satu-satunya pemilik warung di desa kami. Ya, saya yakin. Itu Kang Wasiyo! Dia baru saja kulakan di pasar.
Tapi mengapa di TV diberitakan kepanikan warga saat akan mengungsi? Kang Wasiyo
tidak mungkin mengungsi. Atau, jangan-jangan wartawan ingin membuat berita yang
heboh, tapi sulit mendapatkan gambar, lalu asal shooting saja? Wah….?!
Tiba-tiba aku merasa muak melihat berita di TV.
”Rahman, ayo
kita pulang, adikmu harus segera bobok. Kamu juga, nanti ndak masuk angina.”
”Pulang ke rumah, Mak?”
”Oh, tidak. Ya pulang ke tenda.” Jawabku
sambil terus berjalan meninggalkan halaman kantor kecamatan.
”Pulang ke
rumahnya kapan, Mak?”
”Besok kalau
keadaan sudah aman, Nak.”
”Memangnya sekarang
belum aman? Merapi kenapa, Mak?”
”Merapi mau
njebluk!”
”Besok kalau
sudah njebluk, kita pulang ya, Mak?”
”Husss…!”
”Mak…”
Aku menarik lengan anakku saat ia mencoba bertanya tentang bilik-bilik
bambu yang ada di sebelah posko PMI. Ia tidak boleh melihat isi bilik itu, apa
lagi kalau sedang dipakai. Tempat itulah yang disebut BILIK MESRA. Disediakan
khusus untuk suami istri yang ingin ’menunaikan kewajibannya’. Aneh-aneh saja!
Aparat sudah mengatur bahwa yang mengungsi adalah perempuan dan anak-anak, sementara
para suami dan pemuda menjaga desa. Kok di sini disediakan bilik mesra? Siapa
yang mau pakai? Kalau toh ada pengungsi yang mau pakai, bagaimana panitia
mengetahui pemakainya benar-benar suami istri atau bukan? Bagaimana kalau ada orang yang mengaku-aku
sebagai pasangan suami istri, tetapi ternyata bukan? Sebenarnya bilik mesra
disediakan untuk siapa? Pengungsi atau….?
Menganggur, tanpa pekerjaan, hanya makan tidur, membuat kami semakin
jenuh tinggal di pengungsian. Aku merindukan desaku, merindukan sawahku,
merindukan kambing-kambingku.. Delapan hari sudah aku mengungsi, tetapi belum
diperbolehkan pulang. ”Jangan pulang dulu, sebentar lagi Merapi pasti meletus,”
selalu kata itu yang aku dengar untuk mencegah kami pulang. Untunglah, dua hari
kemudian kami dipulangkan.
Kini aku sudah di rumah, mendekap Azizah, berdampingan dengan Rahman
masih bermalasan untuk bangun pagi. Kang Sarmun, suamiku, sudah menyusul Mbah
Naryo di mushola. Aku benar-benar harus terbangun saat Kang Sarmun sudah pulang
dari mushola. Menjerang air, membuat teh panas, memanasi sayur, menjadi
kegiatan rutin yang harus kukerjakan
dengan cepat sebelum anak-anakku terbangun. Dan pagi ini, aku melakukannya
dengan senang hati karena aku sudah pulang dari mengungsi, dan bisa berkumpul
lagi dengan suamiku.
Dua cangkir teh baru saja aku seduh dengan air panas saat tiba-tiba tanah
yang kupijak bergetar. Kulihat daun jendela bergoyang-goyang. Jam dinding tua
terjatuh dari cantelan, dan amben di dapur pun terguncang. Untuk beberapa saat
aku terpaku, menduga-duga apa yang terjadi. Namun dari luar, Kang Sarmun yang
baru saja pulang dari mushola berteriak, ”Lindduu…lindu…lindu…Sumarni, anakmu
bawa keluar…!”
”Azizaahh…Rahman…, Kang, tolong anak kita Kang…!” tangisku membaur dengan
jerit para tetangga. Segera kubopong Azizah, dan Rahman kuseret masih dalam
kantuknya. Kami memburu keluar rumah. Tetapi…astaga, hujan pasir menyambut kami
di luar. Sementara, di sebelah timur awan panas bergulung-gulung di puncak
gunung. Merapi seolah murka.
”Wedhus gembel…wedhus
gembel…awas…!”
”Lindu…lindu…,
gempa bumi..!”
”Bapak…!”
”Maakk…!”
”Anakku…!”
Teriakan, tangis, dan jeritan membaur bersama semburan awan panas yang
membubung. Merapi benar-benar meletus!Ya Tuhan, kiamatkah ini? Hatiku memekik.
Hiruk-pikuk, jerit tangis anak-anak, pukulan kentongan, sirine yang
meraung-raung membuatku semakin panik. Bingung, di luar dihujani abu, di dalam
rumah takut runtuh. Kulindungi kepala anak-anakku dengan tampah yang kebetulan
berada di tritikan. Orang-orang
berlarian menuju kantor kelurahan, berharap ada pertolongan di sana.
Adalah Mbah Naryo, duda tua yang tidak larut dalam kepanikan. Ia hanya
berdiri dengan tenang di emperan rumahnya. Memandangi Merapi dengan penuh
sasmita. Lalu senyumnya menyungging di antara keriput wajahnya.
”Mbah, Simbah
tidak ikut ke kelurahan? Mari saya tuntun, Mbah. Atau saya gendong?” ajak Kang
Sarmun.
”Sudahlah…saya
cukup di sini saja. Bawa anak isterimu ke sana,
siapa tahu truk pengangkut datang sebentar lagi,” jawab Mbah Naryo tenang.
”Tapi, Mbah…kalau
Simbah tidak mengungsi, saya juga tidak akan ke sana. Saya akan menemani
Simbah.”
”Bagaimana
dengan anak isterimu?”
”Aku menurut
kata Kang Sarmun saja. Di kelurahan belum ada truk. Nanti kalau harus mengungsi
pasti ada pengumuman.” Jawabku menyela.
”Kita mengalami
hal seperti ini bukan baru sekali ini saja, Mbah. Merapi akan baik pada kita.”
Jawab suamiku.
”Tapi ini dengan
gempa, Kang” sahutku..
”Ya, karena
material yang dikirim untuk kita lebih banyak, makanya guncangannya lebih
terasa.” Jawab Kang Sarmun tenang.
”Baguslah kalau
begitu. Simbah jadi punya teman untuk mengusir wedhus gembel itu agar tidak
sampai di sini.”
”Mengusir...
bagaimana?”
”Sudahlah,
semakin cepat kita lakukan akan semakin baik. Bantu Simbah mengambil galar-galar ini, lalu bawa ke luar!”
Kang Sarmun mengikuti keinginan duda
renta itu tanpa banyak bicara, meski di dalam benaknya penuh tanya. Dalam
beberapa saat saja amben yang berada
di dapur itu sudah melompong tanpa galar. Kang Sarmun memikul galar-galar itu
keluar, diikuti Mbah Naryo menenteng botol minyak tanah. Kedua lelaki itu
beriringan menuju samping kanan rumah. Dari sini tampak gugusan lava
menggumpal, membubung, menyembunyikan sosok Merapi yang biasanya tampak agung. Kang
Sarmun dan Mbah Naryo duduk berdampingan menghadap ke arah Merapi yang sedang
murka. Di depan mereka teronggok tumpukan galar.
”Nyalakan apinya,
Sarmun!”suara Mbah Naryo memberi perintah, sambil menyodorkan korek api kepada Kang
Sarmun. Lelaki tua itu mencurahkan sedikit minyak tanah pada tumpukan galar
agar api mudah menyala. Dan, dalam hitungan detik, api mulai berkobar-kobar.
Mbah Naryo mengamati lidah api yang seolah meronta-ronta. Sesaat kemudian dia
pun tersenyum.
”Lihat, lidah
apinya mengarah ke selatan. Ke sanalah wedhus gembel akan menuju. Kita akan
aman di sini. Kalau harus pergi, wedus gembel itu yang akan pergi, bukan kita.
Kita tak perlu mengungsi.”
”Mengapa Simbah
sangat yakin?”
”Karena kita
telah berhasil mengusirnya. Ya,ya, kita telah mengusirnya!”
Kang Sarmun tak menyahut, begitu
juga aku, meski di hati bergelayut berbagai perasaan. Aku tidak mengerti
mengapa lelaki tua itu begitu yakin bahwa ia telah berhasil menghalau bencana
yang ditakutkan banyak orang.Tetapi melihat ketenangan Mbah Naryo, kecemasanku
pun berkurang. Saya percaya, Mbah Naryo, duda renta nan lugu, tidak pernah
neko-neko, dan selalu bersahaja, pasti lebih tanggap ing sasmito saat menyikapi wedhus gembel. Meskipun hanya
berbekal seujung galar.
Waktu terus merambat siang. Kalau
saja matahari tidak terhalang wedhus gembel, pasti sinarnya sudah mulai
menghangat. Namun desa seolah mati. Tak ada aktivitas. Semua masih dicekam
berbagai perasaan yang mengharu biru. Yang mengherankan, tidak ada perintah
untuk mengungsi. Tidak ada truk pengangkut yang berjajar di depan kantor kelurahan.
Hanya ada beberapa relawan bersepeda motor yang mencoba menenangkan warga untuk
tidak panik. Aneh, di mana para relawan, para penghuni posko dari berbagai
partai yang kemarin berebut menarik simpati kami? Di manakah mereka?
Tiga hari setelah peristiwa itu,
Bapak Pamong kembali mengumpulkan kami. Bukan untuk mengungsi lagi, meskipun
Merapi benar telah meletus, tetapi untuk mnggalang bantuan bagi korban gempa di
Bantul. Kami menyambut hangat ajakan Pak Pamong. Dengan suka rela,
setulus-tulusnya kami memberikan apa yang kami punya, sayuran, beras, kelapa,
ketela, bahkan beberapa ekor ayam kampung dikumpulkan di kantor kelurahan. Tahulah
kami bahwa Merapi terbatuk karena terguncang gempa yang berpusat di sana. Dan, Mbah Naryo
benar, wedhus gembel tidak menjangkau desaku. Tetapi angina yang bertiup telah
menerbangkan sebagian abu ke desaku.
Kamus kecil
Wedhus Gembel : sebutan yang diberikan warga sekitar
Merapi saat ada awan panas.
sampeyan : Kamu, Anda
diopeni : dirawat
inggih : iya
semribit : hembusan angina yang cukup terasa
dililing : digoda
(menggoda anak kecil)
lindu : gempa bumi
tampah : nyiru
tritikan : teras,
emperan
amben :
balai-balai
galar :
galur-galur yang terbuat dari bambu untuk membuat balai-balai
tanggap ing sasmito: peka terhadap keadaan melalui indera keenam