dan Penilaian yang Berkeadilan
(Swara Guru 'Kedaulatan Rakyat' 7 Juli 2015, hlm. 14)
Sejak kurikulum 2013 digulirkan, bentuk penilaian otentik memang lebih sering diperbincangkan
dibanding
tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya bentuk penilaian ini bukanlah hal
baru di dunia pendidikan. Sebelum kurikulum 2013 digulirkan, penerapan
penilaian otentik sudah dilakukan oleh beberapa guru, meskipun belum
dalam bentuk penilaian yang sempurna. Meskipun sudah digunakan,
penilaian otentik seolah kehilangan gaung saat itu. Hal ini --mungkin---
karena belum banyak guru yang responsif terhadap penilaian otentik.
Permendikbud Nomor 81 A tentang Implementasi Kurikulum 2013
meng-amanatkan bentuk penilaian otentik ini untuk menilai pencapaian
kompetensi peserta didik. Dalam permendikbud itu dinyatakan bahwa
penilaian dalam kurikulum 2013 memiliki lima karakteristik, yakni (1)
prinsip belajar tuntas (mastery learning), (2) penilaian otentik, (3)
berkesinambungan, (4) berdasarkan acuan kriteria, dan (5) menggunakan
teknik penilaian yang bervariasi. Payung hukum ini kemudian dikukuhkan
lagi dengan Permendikbud No 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil
Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Pada kedua permendikbud terssebut penilaian otentik menjadi suatu
keharusan.
Berorientasi pada Proses
Selama
ini banyak pandangan yang perlu diluruskan dalam hal penilaian. Banyak
anggapan bahwa penilaian dilakukan untuk menilai sejauh mana pengetahuan
yang diserap peserta didik dalam kurun waktu tertentu. Maka, jika
setelah kurun waktu tertentu diadakan ulangan, hasil ulangan itulah yang
dianggap sebagai cerminan pengetahuan peserta didik. Bahkan, terkadang,
hasil ulangan itu dijadikan tolak ukur untuk menilai kepandaian peserta
didik. Jadi, jika ada peserta didik yang sedang sakit, bad mood, atau
sedang galau saat ulangan, dan berakibat pada hasil ulangan yang tidak
optimal, hal itu terabaikan. Hasil ulangan adalah kondisi mutlak untuk
mengukur keberhasilan peserta didik dalam pembelajaran. Penilaian
seperti ini hanya berorientasi pada hasil, bukan pada proses.
Penilaian otentik merupakan bentuk penilaian yang mencoba
memotret kemampuan peserta didik secara objektif dan akurat pada saat
proses pembelajaran berlangsung. Selain berorientasi pada proses,
penilaian otentik tidak hanya menilai ranah pengetahuan (kognitif) saja,
tetapi juga ranah keterampilan (psikomotor) , dan ranah sikap
(afektif). Nurgiyantoro (2012) menyatakan bahwa seluruh tampilan peserta
didik dalam rangkaian kegiatan pembelajaran dapat dinilai secara
objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata hanya berdasarkan hasil
akhir (produk) saja.
Penilaian yang berorientasi pada proses ini tentu lebih bermakna karena
peserta didik tidak hanya dinilai dari pengetahuannya saja. Penilaian
otentik juga akan membidik ranah psikomotor yang akan menginformasikan
apakah pengetahuan itu diperoleh dengan proses yang baik atau tidak. Pun
akan menginformasikan apakah peserta didik mampu menggunakan
pengetahuannya itu untuk menyikapi masaalah dalam situasi yang
sesungguhnya. Lebih lengkap, penilaian otentik akan menilai juga
bagaimana sikap peserta didik dalam proses pembelajaran.
Berkeadilan
Dalam konsep belajar tuntas (mastery learning) ada pemahaman bahwa
semua peserta didik dipandang akan mampu mencapai suatu kompetensi,
namun membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Hal ini menginformasikan
bahwa setiap peserta didik pasti akan berproses dalam pembelajaran.
Dimungkinkan peserta didik akan menggunakan cara (model belajar) yang
berbeda dengan peserta didik lainnya untuk mencapai suatu kompetensi.
Proses yang mereka lakukan itulah yang semestinya dinilai, bukan hanya
hasil saja. Hal inilah yang menjadi ruh penilaian otentik.
Karena berorientasi pada proses, peserta didik akan tetap dinilai dan
dihargai segala upaya belajarnya sejauh mereka berproses dengan baik.
Jadi, peserta didik yang (karena suatu sebab) gagal dalam ulangan atau
tes tidak akan patah arang karena penilaian tidak hanya bertumpu pada
hasil saja. Demikian juga, peserta didik yang sudah berproses dengan
sungguh-sungguh, tetapi karena intelegensianya memang kurang dibanding
peserta didik yang lainnya, akan tetap tertolong karena guru menilai
proses yang telah dilalui, bukan hanya pada hasilnya saja. Sebaliknya,
peserta didik yang tidak berproses dengan baik, akan dinilai kurang
meskipun hasil ulangannya sangat bagus. Guru pasti akan meragukan,
bagaimana peserta didik dapat memeroleh hasil ulangan sebaik itu,
padahal ia tidak berproses dengan baik. Penilaian seperti ini kiranya
menjadi pendekatan penilaian yang humanis dan berkeadilan. Oleh
karenanya, setiap pendidik mestinya mulai mengaplikasikan bentuk
penilaian otentik ini dalam pembelajaran. Mari bersiap menjadi gurunya
manusia di sekolahnya manusia...!
Daftar Pustaka
Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013.
Permendikbud
Nomor 104 Tahun2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2012. Penilaian Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta: Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.