Mendidik dengan Pola Asuh ”Top-Down”
(Kedaulatan Rakyat, Senin, 9 Juli 2012, hlm.10)
Banyak keperihatinan guru terkait dengan sikap siswa yang menjadi anak didiknya. Rasa perihatin itu terujar dalam berbagai ungkapan, seperti; ”Siswa sekarang sama sekali tidak bisa menghargai gurunya”, ”Dulu sewaktu saya menjadi murid, saya selalu hormat pada guru saya, tetapi murid saya sekarang jauh berbeda sikapnya?”, ”Anak-anak sekarang bermoral rendah, tidak tahu sopan santun, menyepelekan guru…” , dan ungkapan lain yang senada.
Fenomena seperti di atas sudah pasti menjadi masalah serius di dunia pendidikan, lebih spesifik lagi di lingkungan sekolah. Jika sekolah menjadi harapan bagi perbaikan sikap dan perilaku siswa, maka guru menjadi ujung tombaknya. Gurulah yang harus memulai pembenahan, bukan yang lain! Untuk itu perlu digugah kembali bahwa guru memilki tugas ganda bagi siswanya. Ia sebagai pengajar dan sekaligus pendidik.
Pola Asuh ”Top-Down”
Untuk menjalankan fungsinya sebagai pendidik, guru perlu menerapkan pola asuh yang baik dan benar. Sebab, tanpa pola yang benar, alih-alih bisa membina sikap anak, bisa-bisa justeru merusak mentalitas anak didik, dan menghasilkan lulusan yang ‘salah asuhan’. Salah satu pola asuh yang pantas diterapkan adalah pola asuh ”Top-Down”, yaitu pola asuh yang dilandasi dengan kesadaran bahwa gurulah yang harus menyelami dunia anak, bukan anak yang mendongak ke dunia guru. Jelasnya, pola asuh ini didasarkan pada paradigma (cara pandang) bahwa guru memang harus proaktif dalam mendekati siswa, merendahkan hati untuk memahami siswa. Ada beberapa prinsip yang harus dipahami guru untuk menerapkan pola asuh ”Top-Down”.
Pertama, guru bukanlah segalanya. Perlu disadari bahwa pada millennium ini siswa bisa mendapatkan informasi (ilmu) secara mudah dari segala penjuru. Mereka tidak lagi bersandar pada guru saja untuk mengakses ilmu. Tidak bisa mengakses ilmu dari guru, siswa bisa mencari di sumber lain; internet, perpustakaan, atau melalui bimbel. Jadi, guru bukan segalanya bagi siswa.
Kedua, siswa bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Banyak guru yang sewot, merasa tidak dihargai siswanya. Terkadang, guru terlalu memaksakan kehendaknya (kehendak untuk dihargai, dihormati, disegani) pada siswa, dan memperlakukan siswanya seperti orang dewasa? Padahal secara psikhologis mereka belum matang, belum dewasa, tetapi sudah dituntut untuk bersikap dewasa. Ketahuilah, siswa bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini.
Ketiga, menyelami dunia siswa. Zaman berubah, pola hidup berubah, norma juga berubah, demikian juga kondisi siswa tentu berubah (berbeda dengan kondisi guru waktu menjadi siswa dulu). Guru mestinya memahami perilaku siswa sesuai dengan zaman ini, bukannya membawa siswa ke zaman guru dulu. Lagi pula, ironis sekali jika guru tidak bisa memahami siswanya, padahal ia pernah sampai pada usia mereka. Jangan terlalu berharap siswa memahami guru, sebab mereka belum pernah sampai pada usia gurunya!
Keempat, siap menjadi bunglon. Sering terjadi, siswa membutuhkan gurunya tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi lebih dari itu. Dalam kondisi kejiwaan yang labil, siswa memerlukan sahabat yang bisa memegang rahasia, orang tua yang menenangkan, atau teman sharing yang hangat. Guru yang baik harus siap dengan tuntutan semacam itu, terkadang menjadi tempat curhat, terkadang menjadi orang tua yang berwibawa, atau menjadi sahabat yang hangat untuk siswanya.
Kelima, bersikap ’menyertai siswa’ Siswa tidak menyukai gurunya hanya sebagai ilmuwan belaka. Lagi pula, mereka tidak mendambakan guru yang supergenius. Guru yang ‘tampak’ demikian akan terasing karena siswa merasa kerdil di depannya. Yang dibutuhkan siswa adalah guru yang bisa menyertainya menimba ilmu, bukan guru yang berilmu tinggi tetapi tidak bisa menyampaikannya pada siswa.
Itulah beberapa prinsip yang perlu dimiliki guru untuk menjadi pendidik yang lebih humanis.
Sebaiknya, pola asuh inilah yang diterapkan guru di zaman ini. Dengan pola asuh ini, guru akan berkesan bagi siswa. Sebab, begitu siswa keluar dari gerbang sekolah, ilmu yang diberikan guru akan mereka lupakan, tetapi sikap guru akan selalu di kenang. Selamat mencoba!