KEBIJAKAN SEKOLAH
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
(Magelang Ekspres, 4 April 2011, hlm. 12)
Arus modernisasi dan globalisasi tak terbendung. Hal ini memunculkan masalah yang dilematis bagi dunia pendidikan. Di satu sisi, sekolah dituntut untuk mempersiapkan generasi yang tangguh di era global, di sisi lain sekolah harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya krisis identitas bagi generasi muda. Meningkatkan daya saing siswa menjadi keharusan, tetapi mempertahankan budaya lokal menjadi tuntutan. Bagaimana sekolah harus bersikap?
Derasnya arus modernisasi menjelang era kesejagadan (=era global) dikhawatirkan akan mengikis budaya lokal yang diwariskan para leluhur. Kekhawatiran ini bukanlah hal yang mengada-ada. Budaya asing kini kian mewabah dan mulai mengikis eksistensi budaya lokal yang sarat makna. Masuknya budaya asing ini telah memenggejala dan menimbulkan tragedi culturally overwhelmed (kebanjiran budaya). Fenomena anak usia sekolah yang senang dengan budaya asing menjadikan kewaspadaan untuk mengangkat dan melestarikan budaya lokal agar menjadi bagian integratif dalam pembelajaran di sekolah. Agar eksistensi budaya lokal tetap kukuh, maka diperlukan pemertahanan budaya lokal. Dalam dunia pendidikan, hal ini bisa dilakukan dengan menggagas adanya manajemen sekolah berbasis kearifan lokal.
Pemuatan di SKH 'ME' |
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Mestinya sikap, pandangan, dan kemampuan seperti di atas dimiliki oleh setiap komunitas, baik instansi pemerintah, lembaga, organisasi, maupun sekolah. Jika ini bisa terwujud, maka jati diri bangsa akan tetap terjunjung tinggi. Tetapi jika tidak, kita akan menjadi bangsa yang terombang-ambing oleh arus modernisasi. Kita hanya akan menjadi bangsa peniru, penjilat, tanpa jati diri. Inilah saatnya harus berbenah!
Dimulai dari Sekolah
Membangun kembali jati diri bangsa harus diawali dengan menumbuhkan sikap berwawasan kearifan lokal bagi generasi muda. Hal ini akan mudah terwujud jika dimulai dari sekolah. Oleh karena itu diperlukan manajemen sekolah berbasis kearifan lokal. Yakni manajemen yang mengakomodasi kepentingan daerahnya, tanpa mengesampingkan tuntutan global. Dalam UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, pendidikan semacam ini disebut PBKLG (Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global). Lebih rinci, pendidikan semacam itu harus terintegrasi dalam kurikulum, yakni KTSP. Di dalam UU tersebut dinyatakan;
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.
Dengan manajemen sekolah yang mengacu pernyataan seperti itu diharapkan agar sekolah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan sosial sekitarnya, serta mampu mengaktualisasikan keunggulan lokal yang dimiliki daerahnya. Dengan demikian, sekolah telah berupaya memfasilitasi generasi muda untuk memiliki sikap nasionalisme.
Anak usia sekolah cenderung menyalahartikan globalisasi dengan mengonsumsi produk barat dan menelannya mentah-mentah. Padahal budaya global banyak yang menyimpang dari etika orang Indonesia. Para siswa justru lupa akan budaya tradisionalnya sendiri. Banyak kebudayaan tradisional yang tidak lagi dikenal oleh anak-anak kita, karena mereka lebih menyukai kebudayaan barat yang mereka anggap lebih terkenal dan populer.
Hal ini harus menjadikan para pendidik waspada, karena lama kelamaan akan menjauhkan anak-anak dari budayanya sendiri. Mereka seperti tercerabut dari budaya nenek moyangnya sendiri. Dalam rangka upaya mengembangkan kebudayaan bangsa yang berkepribadian dan berkesadaran nasional, perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai sosial budaya daerah yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang positif dan yang diperlukan bagi pembaharuan dalam proses pembangunan bangsa.
Menyatu atau Terpisah
Pendidikan berbasis keunggulan lokal bisa diterapkan secara terintegrasi (menyatu) pada setiap mata pelajaran, ataupun terpisah (berdiri sendiri sebagai mulok. Cara pertama, menyatu dengan mata pelajaran, berarti harus diprogram dan direncanakan dalam silabus. Hal ini bukan hal yang mustahil karena KTSP membuka pintu selebar-lebarnya untuk mengakomodasi kemungkinan seperti ini. Artinya, dengan KTSP, setiap sekolah memiliki kebebasan untuk mendesain sendiri kurikulum yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Dengan demikian, setiap sekolah memiliki kewenangan untuk menyusun kurikulum berbasis kearifan lokal yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran.
Cara yang kedua, berdiri sendiri sebagai mulok. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga sekolah harus mengembangkan kurikulum setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan.
Menyentuh Segala Aspek
Dua cara yang diajukan di atas baru sebatas melaksanakan pembelajaran berbasis keunggulan lokal. Pendidikan berbasis kearifan lokal tidak hanya menyentuh masalah pembelajaran saja, tetapi hampir pada semua aspek penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Misalnya saja berkaitan dengan kegiatan ekstrakurikuler. Sekolah yang berwawasan kearifan lokal akan mengutamakan kegiatan yang bersifat pelestarian budaya lokal dibandingkan dengan kegiatan lain yang bersentuhan dengan budaya asing. Contohnya, utamakan untuk menyelenggarakan ekstra seni tari, karawitan, ketoprak, topeng ireng, kubro siswa, dibandingkan dengan ceerlader, breakdance, fotografi, atau melukis. Di bidang olah raga pun lebih menekankan olah raga tradisional seperti pencak silat, pencinta alam, sepak takraw, dibandingkan taekwondo, karate, atau inkai.
Penyelenggaraan wisata pun harus berwawasan kearifan lokal. Misalnya, utamakan untuk mengunjungi objek wisata yang berupa cagar budaya, museum seni, kraton, atau wisata budaya seperti penyelenggaraan upacara ritual di suatu daerah, dibanding mengunjungi ice skating, wonderland, mall, atau tempat modern lainnya.
Barangkali akan lebih mengena jika kultur yang diciptakan di sekolah pun lebih didekatkan pada kecintaan terhadap budaya lokal. Misalnya saja gapura sekolah dibuat lebih tradisional, patung di taman dipilih yang bersifat etnik, bangunan kantin dibentuk lebih kedaerahan, slogan-slogan yang ditempel diadopsi dari bahasa daerah, seragam identitas sekolah didesain lebih etnik, dan memiliki sesanti dari bahasa daerah, dan sebagainya.
Kita harus meningkatkan kepedulian terhadap budaya lokal dan kekayaan daerah sebelum bangsa lain mengklaim menjadi miliknya. Akankah kita biarkan satu persatu kekayaan bangsa lepas dari tangan? Jika tidak, inilah saatnya untuk mempertahankannya. Jangan menunggu nanti, atau esok!