Memahamkan ”Bahasa Menunjukkan Bangsa”
(Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 27 Oktober 2012, hlm. 10)
Pada setiap peringatan bulan bahasa, khalayak selalu diingatkan pada sebuah ungkapan tentang ’bahasa menunjukkan bangsa’. Ungkapan ini sebenarnya merupakan kristalisasi nasihat dari para generasi terdahulu akan pentingnya berbahasa secara santun, baik, dan benar. Namun, perlu disayangkan karena pemahaman terhadap ungkapan ini masih sering rancu. Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa ’bahasa menunjukkan bangsa’ berarti ’suku bangsa atau ras seseorang bisa dikenali melalui bahasa yang digunakannya’. Misalnya, orang yang berbahasa Belanda pastilah dia bangsa Belanda. Orang yang berbahasa Perancis pastilah dia berkebangsaan Perancis, yang berbahasa Jepang pastilah bangsa Jepang, dan yang berbahasa Indonesia sudah barang tentu bangsa Indonesia. Ironisnya, pemahaman seperti ini juga terjadi di sekolah.
Persepsi seperti ini tentulah tidak benar. Sebab, pemakaian bahasa sekarang ini sudah mulai mengglobal. Bahasa sudah bersifat universal, dan tidak lagi menunjukkan kesukuan atau kebangsaan. Nyatanya, orang yang berbahasa Belanda belum tentu bangsa Belanda, orang yang berbahasa Perancis belum tentu berkebangsaan Perancis. Demikian juga pengguna bahasa Jepang, Arab, Indonesia, belum tentu mereka adalah bangsa Jepang, bangsa Arab, atau bangsa Indonesia. Apakah dalam hal seperti ini bahasa bisa menunjukkan kebangsaan? Lantas, bagaimana meluruskan persepsi ini?
Berarti ‘kalangan’
Bahasa menunjukkan bangsa. Kata bangsa pada ungkapan tersebut akan lebih tepat jika jika dimaknai sebagai ’kelas’, ’kelompok’, atau ’kalangan’. Dengan demikian, ungkapan tersebut bisa dimaknai; bahasa seseorang akan menunjukkan dari kalangan apa dia. Misalnya, dilihat dari ciri bahasanya, Pak Sadeli adalah petani (bangsanya petani), dilihat dari cara berbahasanya, Bu Ningrum adalah seorang politisi (bangsanya politisi), dan dari bahasanya pula, Indri adalah seorang guru (bangsanya pendidik).
Kepada anak didik perlu dipahamkan bahwa untuk mengenali seseorang dari kalangan atau kelompok apa mereka, bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, mencermati topik pembicaraannya. Jika seseorang banyak berbicara tentang musim tanam, pengolahan sawah, harga pupuk, hasil panen, atau hama tanaman, kemungkinan dia adalah bangsanya petani. Jika seseorang berbicara tentang partai, kampanye, pemilu, dan pemerintahan, kemungkinan dia dari kalangan politisi. Kedua, dilihat dari sikap berbahasanya. Bangsanya pendidik, biasanya memiliki sikap berbahasa yang santun, cermat, dan sistematis. Sebaliknya, bangsanya kernet, sopir angkutan umum, kondektur, pengamen, dan orang terminalan cenderung memiliki sikap berbahasa yang kurang santun.
Perlu juga siswa memahami bahwa sikap berbahasa juga bisa menunjukkan kepribadian seseorang. Orang yang berbahasa secara santun, cermat, dan efektif akan dinilai sebagai orang yang berkepribadian baik, dari bangsanya orang berpendidikan. Sebaliknya, orang yang berbahasa secara ’amburadul’, tidak santun, dan tidak teratur akan dinilai sebagai orang yang kurang arif dan tidak berpendidikan.
Sudah sepantasnya menjadi tugas pendidik untuk mengajak siswa berbahasa secara santun, efektif, dan cermat, sebab bahasa yang kita gunakan akan menunjukkan dari kalangan (bangsa) apa kita sebenarnya. Hal ini bisa dimulai dengan menyambut baik himbauan pemerintah dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebab, bahasa menunjukkan bangsa!